TAHAMMUL WAL ADA’
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: ‘Ulumul Hadits
Dosen
Pengampu : Kasan, Bisri MA.
Disusun
Oleh:
Fajar
Ainul Yaqin (1604026102)
Muhammad
Bilad Maulana (16024026110)
Pujiasih
Nur Khafidoh (1604026124)
JURUSAN
TAFSIR HADITS
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .................................................................................... 2
B.
Rumusan Masalah ................................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ............................................................................................ 3
B.
Cara-cara Tahammul dan Ada’ ........................................................... 3
C.
Syarat Periwayatan Hadits .................................................................. 8
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan .......................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para ulama
ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu peristiwa hadits dari
seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan” dengan istilah “tahammul
wal ada’”.
Allah telah memberikan kepada ummat Nabi Muhammad SAW, para
pendahulu selalu menjaga Al-Qur’an dan Al-Hadits nabi. Mereka mencurahkan
perhatiannya tehadap Al-Qur’an dan Al-hadits. Seseorang yang mempelajari hadits
dengan sungguh-sungguh dengan cara yang benar harus dijaga dan dipelihara, baik
ketika menjadi murid ataupun kelak ketika menyampaikan atau mengajarkan hadits kepada orang lain, hl
ini dalam lmu hadits disebut “ at tahannul wa ada’”dengan beberapa metode
didalamnya, yang akan diulas dalam makalah kami.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian
Tahammul wal Ada’?
2. Bagaimana Cara-cara
Tahammul wal Ada’?
3. Bagaimana
Syarat-syarat Tahammul wal Ada’?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tahammul dan Ada’
Tahammul
secara bahasa
artinya “menerima” dan ada’ artinya “menyampaikan”. Jika digabungkan
dengan kata al-hadits, “tahammul hadits” berarti “kegiatan
penerimaan hadits”. Sedangkan “ada’ul hadits” berarti “kegiatan
menyampaikan hadits”.[1]
B.
Cara-cara Tahammul dan Ada’
Adapun cara-cara Tahammul Hadits
ada delapan, yaitu:
1.
Sama’ Min Lafdhi Syaikh[2]
Yaitu
penerimaan riwayat hadits dengan cara mendengar langsung dari ucapan gurunya,
yaitu dengan cara didiktekan dari hafalannya maupun dari tulisannya.
Menurut jumhur
ulama hadits, cara seperti ini adalah cara yang paling tinggi nilainya. Karena
dengan cara seperti inilah yang dilakukan sahabat Nabi untuk menerima hadits
Rasulullah, dan terpelihara dari kekeliruan dan lupa.
Lafadz-lafadz
yang sering digunakan oleh perawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar “sama”
adalah:
أخْبَرَنَا / أخْبَرَنِى (seseorang telah mengabarkan kepadaku /
kami)
حَدَّثَنِى / حَدَّثَنَا
(seseorang telah bercerita kepadaku / kami)
سَمِعْنَا/ سَمِعْتُ (saya / kami telah mendengar )
أَنْبَأَنَا
(sesorang
telah memberitakan kepada kami)
قَالَ لَنَا فُلَانٌ
(seseorang
telah berkata kepada kami)
ذَكَرَ لَنَا فُلَانٌ
(seseorang
telah menuturkan kepada kami)
2.
Al-Qira’ah ‘Ala Syaikh[3]
Yaitu
penerimaan riwayat hadits dengan cara
sipembaca membacakan hadits dihadapan gurunya, baik ia sendiri, yang membacanya
maupun orang lain yang membacakannya sedangkan ia sendiri yang mendengarkannya.
Lafadz-lafadz
yang sering digunakan oleh perawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar “Al
qira’ah ‘Ala Syaikhihi” adalah:
قُرِئَ عَلَى
فُلاَنٍ وَاَنَااَسْمَعُ
(Dibacakan oleh seseorang dihadapan gurunya, sedangkan aku
mendengarkan )
3.
Al-Ijazah[4]
Yaitu
penerimaan riwayat hadits dengan cara pemberian izin dari seseorang kepada
orang lain untuk meriwayatkan haditsnya atau kitab-kitabnya. Kebanyakan para
muhaditsin tidak memperbolehkan periwayatan dengan cara ijazah seperti
ini, tetapi ada sebagian ulama yang lain memperbolehkan.
Lafadz-lafadz
yang sering digunakan oleh perawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar “Ijazah
” adalah:
اَجَرْتُ لَكَ
رِوَايَةَ الْكِتَابِ الْفٌلاَّنِى عَنِّى
(Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatka kitab sipulan
kepada saya )
اَجَرْتُ لَكَ
جَمِيعَ مَسْمُوْعَتِى اَوْمَرْويَّاتِى
(Aku ijazahkan kepadamu seluruh
yang saya dengar atau yang saya riwayatkan
)
4.
Al-Munawalah[5]
Yaitu
penerimaan riwayat hadits dengan cara seseorang guru memberikan naskah asli
atau salinan yang sudah dikoreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan.
Penerimaan
hadits atas dasar munawalah ini mempunyai dua cara yaitu:
a)
Dengan disertai ijazah yaitu
setelah seorang guru menyerahkan kitab asli atau salinannya kemudian
mengatakan:
هَذَاسِمَاعِى
اَوْرِوَا يَتِى عَنْ فُلاَنٍ فَارْوِهِ
(Ini adalah hasil pendengaranku
atau periwayatanku dari seseorang, maka riwayatkannya)
b)
Tanpa disertai ijazah yaitu
ketika naskah asli atau salinannya diberikan kepada muridnya, tanpa diikuti
oleh suatu perintah untuk meriwayatkannya.
هَذَاسِمَاعِى
اَوْمِنْ رِوَا يَتِى
(Ini adalah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatku)
5.
Al-Mukatabah[6]
Yaitu seorang guru menuliskan sendiri atau
menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadistnya guna diberikan kepada
murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan cara dikirimi
surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya. Al-Mukatabah ada
dua macam, yaitu:
a)
Al-Mukatabah yang disertai
dengan ijazah, yaitu ketika sang guru menuliskan beberapa hadist untuk
diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazah (izin)-kan kepadamu untuk kamu
riwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-mukatabah dalam bentuk ini sama
halnya dengan al-munawalah yang disertai dengan al-ijazah, yakni dapat
diterima.
b)
Al-Mukatabah yang tidak
disertai dengan ijazah, yaitu guru menuliskan hadist untuk diberikan kepada
muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan.
Al-Mukatabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama’. Ayub, Mansur,
Al-Lais, dan tidak sedikit dari ulama Syafi’iyyah dan ulama’ Ushul menganggap
sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak sah.
6.
Al-I’lam[7]
Yaiitu pemberitahuan seorang guru kepada
muridnya, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya dia terima dari
seseorang (guru), dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk
meriwayatkannya atau menyuruhnya. Sebagian ulama’ ahli ushul dan pendapat ini
dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadist dengan
cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang
guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan
ulama’ ahli hadist, ahli fiqih, dan ahli ushul memperbolehkannya. Contohnya:
اَعْلَمَنِى فُلاَنٌ قَالَ حَدَّثَنَا
(seseorang telah memberitahukan padaku: “telah berkata kepada kami...”).
7.
Al-Washiyah[8]
Yaitu ketika seorang guru akan meninggal atau
berpergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau
kitabnya, setelah sang guru meninggal atau berpergian. Periwayatan hadist
dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara Ibnu Sirin membolehkan
mengamalkan hadist yang diriwayatkan atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi
wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadist dari si pemberi wasiat dengan
redaksi حَدَّثَنِى
فُلاَنٌ بِكَذَا (seseorang telah
memberitahukan kepadaku begini), karena si penerima wasiat tidak bertemu
dengannya.
8.
Al-Wijadah[9]
Yaitu seorang memperoleh hadist orang lain
dengan mempelajari kitab-kitab hadist dengan tidak melalui cara al-sama’, al-ijazah, atau al-munawalah. Para ulama berselisih
pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqih dari madzhab
Malikiyyah tidak memperbolehkan meriwayatkan hadist dengan cara ini. Imam
Syafi’i dan segolongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadist yang
periwayatannya melalui cara ini. Ibnu Al-Shalah mengatakan, bahwa sebagian
ulama Muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.
Adapun
cara-cara Ada’ul Hadits yaitu:[10]
1.
Cara Penyampaian Riwayat Hadits
Qauli
Ada beberapa lafadz yng digunakan dalam
periwayatan hadits qauli yaitu:
a.
Bentuk pertama dengan lafadz:
سَمِعتُ
رَسُولُ اللّه صلى الّله عليه و سلّم
(saya
mendengar Rasulullah saw. ...)
أَخْبَرَنى
رَسُولُ اللّه صلى الّله عليه و سلّم
(Rasulullah
saw. mengabarkan kepadaku...)
حدّثَنِى
رَسُولُ اللّه صلى الّله عليه و سلّم
(Rasulullah
saw. menceritakan kepadaku)
b.
Bentuk kedua dengan lafadz:
قَالَ رَسُولُ
اللّه صلى الّله عليه و سلّم
(Rasulullah
saw. bersabda...)
أمَرَ رَسُولُ
اللّه صلى الّله عليه و سلّم
(Rasulullah
saw. memerintahkan...)
نهى رَسُولُ
اللّه صلى الّله عليه و سلّم
(Rasulullah
saw. melarang...)
c.
Bentuk ketiga dengan lafadz:
اُمِرْنا بِكذا
(kami
disuruh begini...)
نُهينا بِكذا
(kami
dilarang begni...)
2.
Cara Penyampaian Riwayat Hadits
Fi’li
a.
Bentuk pertama dengan lafadz:
رأيتُ رَسُولُ
اللّه صلى الّله عليه و سلّم
(saya mellihat Rasullullah saw. ...)
كان النّبيُّ
صلى الّله عليه و سلّم
(ada, Nabi saw. ...)
b.
Bentuk kedua dengan lafadz:
إنّ. أنّ
النّبيُّ صلى الّله عليه و سلّم
(sesungguhnya Nabi saw. ...)
3.
Cara Penyampaian Riwayat Hadits
Ma’nawi
Para sahabat Nabi ada
yang menyampaikan periwayatan hadits tidak persis sebagaimana yang diucapkan
Rasulullah, melainkan hanya dengan ma’nanya saja. Maksudnya apa yang
disampaikan Rasulullah itu hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan
dengan lafadz atau redaksi mereka sendiri.
C.
Syarat Periwayatan Hadits[11]
1.
Islam
Pada waktu
meriwayatkan suatu hadist, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma’,
periwayatan kafir tidak sah.
2.
Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya
cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist, walau penerimanya sebelum baligh.
3.
‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat
yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat
tersebut tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya diri sendiri dengan
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan
selalu menjaga kepribadian.
4.
Dhabit
Dhabit ialah teringat kembali perawi saat
penerimaan dan pemahaman suatu hadist yang ia dengar dan hafal sejak waktu
menerima hingga menyampaikannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yang
dimaksud dengan “tahammul hadits” berarti “kegiatan penerimaan hadits”.
Sedangkan “ada’ul hadits” berarti “kegiatan menyampaikan hadits”. Adapun
cara tahammul hadits ada delapan yaitu:
1.
Sama’ Min Lafdhi Syaikh
2.
Al-Qira’ah ‘Ala Syaikh
3.
Al-Ijazah
4.
Al-Munawalah
5.
Al-Mukatabah
6.
Al-I’lam
7.
Al-Washiyah
8.
Al-Wijadah
Sedangkan cara ada’ul hadits adakalanya
periwayatan hadits qauli, periwayatan hadits fi’li, dan periwayatan hadits
ma’nawi. Dan ada beberapa syarat dalam periwayatan hadits yaitu:
1.
Islam
2.
Baligh
3.
‘Adalah
4.
Dhabit
DAFTAR PUSTAKA
Ø Shobirin.
2012. Ilmu Hadits 11 MA. Cirebon : CV. DRAMA BHAKTI.
Ø Suparta
Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Ø Sahrani
Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia.
Ø Ma’sum M.
2013. Ilmu Memahami Hadits Nabi. Yogyakarta : PUSTAKA PESANTREN.
[1]
M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, halaman 217.
[2]
Shobirin, Ilmu Hadits 11 MA, halaman 17.
[3]
Shobirin, Ilmu Hadits 11 MA, halaman 18.
[4]
Shobirin, Ilmu Hadits 11 MA, halaman 19.
[5]
Shobirin, Ilmu Hadits 11 MA, halaman 19.
[6]
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, halaman 202.
[7]
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, halaman 203.
[8]
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, halaman 203.
[9]
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, halaman 204.
[11]
Sahari Sahrani, Ulumul Hadits, halaman 182.
0 komentar:
Posting Komentar